Selasa, 17 Maret 2009

Menuju 2009 yang bermartabat

oleh: Agus Qorib El-Akhwan*


Wacana perpolitikan nasional menjelang pesta demokrasi di negeri ini, bak jamur yang menebarkan sporanya ke mana-mana. Beramai-ramai rakyat negeri ini membincang sipakah di antara tokoh-tokoh yang pantas mereka jadikan pemimpin negeri ini mendatang.

Banyaknya pilihan dari sistem Pemilu baik Pil caleg ataupun Pilpres yang masing-masing jatuh pada awal April dan awal Juli 2009, telah ditawarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU menetapkan adanya banyak partai (multy party) dalam momentum pemilu 2009 ini. Banyaknya jumlah partai yaitu 48 partai yang telah lolos sertifikasi baik di tingkat pusat ataupun daerah mendorong masing-masing partai untuk saling berlomba-lomba dalam menentukan kancah percaturan politik 2009 di negeri ini.

Berbagai Partai politik dan para calon legislatifnya mulai menjajakan diri dan menawarkan programnya kepada masyarakat. Begitu pula pelaksana pemilu "KPU" menayangkan ratusan kali iklan tentang cara mencontreng dalam pemilu.

Tidak segan-segan dengan leluasannya muncul banyak figur baru yang berani mempromosikan dirinya untuk maju ke arena panggung politik yang penuh dengan intrik. Ada di antara tokoh-tokoh tersebut yang dulunya merupakan pionir dari sebuah partai besar tertentu hijrah ke sebuah partai baru yang dianggapnya lebih nyaman dan ideal menurut pandangan masing-masing dari pada bercokol di partai lamanya.

Pemilu raya di Indonesia adalah sebuah moment penting dalam sejarah bangsa bahkan menjunjung tinggi martabat sebuah negara. Dalam catatan sejarah nasional, bangsa Indonesia pertama kali melakukan pemilu pada tahun 1955 yang terkesan bermartabat dan melalui proses yang demokratis yang penuh dengan aspirasi rakyat.

Setelah terjadi perubahan rezim kekuasaan dari zaman Orla ke Orba Sejarah penyelenggaraan pemilu di Indonesia menunjukkan fakta terjadinya penurunan tingkat partisipasi pemilih. Selama periode Orde Baru, tingkat partisipasi pemilih dalam setiap penyelenggaraan pemilu selalu di atas 90 persen.

Namun, partisipasi politik di bawah rezim pemerintahan Soeharto dinilai semu. Sejumlah faktor yang menggiring pada persepsi ini adalah represi politik dan model mobilisasi yang sangat kuat selama enam periode pemilu sepanjang 32 tahun pemerintahan Orde Baru. Partisipasi pemilu pada era Orde Baru pun memang memiliki kecenderungan turun dalam setiap penyelenggaraan, tetapi penurunannya tak terlalu signifikan.

Bahkan, pada penyelenggaraan pemilu pertama di era reformasi, antusiasme pemilih masih tinggi. Tercatat lebih dari 92,7 persen pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Ini boleh jadi bagian dari gegar reformasi yang membawa mimpi perubahan pada bangsa ini.

Melihat dinamika proses perubahan sistem pemerintahan tempo dulu sampai sekarang yang terkesan flultuatif atau masih dalam ambang bias yaitu arah kebijakan-kebijakan pemerintah yang belum pro-rakyat dengan dihadapkan kompleksnya permasalahan di negeri ini, hal itu cenderung menjadikan masyarakat untuk menentukan dua pilihan sikap; pertama, masyarakat tetap berharap banyak untuk menentukan pilihan terbaik mereka terhadap figur yang mereka tokohkan menjadi pemimpin yang dekat dengan rakyat, atau kedua, masyarakat akan semakin apatis dengan sistem percaturan politik yang cenderung membutakan aspirasinya lantas sudah tidak ada pemimpin yang bisa diharapkan untuk mengayomi golongan ekonomi lemah (GOLEK LEMAH) alias wong cilik.

Untuk mengulangi sejarah keemasan bangsa ini dengan penyelanggraan pemilu yang bermartabat, seharusnya mekanisme penyelenggaraan pemilu 2009 kali ini harus lebih inovatif. Artinya bangsa kita dalam kancah percaturan politik dunia memang masih taraf pendewasaan, perumpamaan dari anak kecil baru beranjak remaja. Komisi pemilihan umun (KPU) sebagai penanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu kali ini harus berani tegas dalam menegakkan aturan, apabila terjadi pelanggaran aturan oleh peserta pemilu maka sanksi harus dijatuhkan bagi para pelanggar hukum. Contoh halnya pelanggaran yang kentara adalah praktek money politik yang masih mengakar di dataran masyarakat oleh beberapa partai yang obral dan curang.

Oleh karena itu, masyarakat berharap pemilu kali ini lebih bersih dan taat hukum. Melihat suramnya pemilu zaman orba yang kental dengan manipulasi politik dan tidak pernah ditindak secara tegas. Oleh karena itu, mulai sekarang supaya ada pemilu yang bermartabat di Indonesia harus ada rekonsiliasi sejarah baru yaitu usaha menata ulang kembali lembaran sejarah percaturan politik negeri ini oleh pemerintah dan rakyat tanpa adanya tirani minoritas dan hegemoni serta intervensi asing terhadap kehidupan rakyat.

Rasionalitas masyarakat terhadap Pemilu

'' Sudah jatuh tertimpa tangga”. Itulah kira-kira gambaran nasib rakyat Indonesia. Setelah tak kunjung sejahtera akibat pemimpinnya salah urus negara, kini urusan hak mereka dalam pemilu pun “ketimpa tangga” pula. Dalam soal satu ini, sebelumnya posisi rakyat serba salah. Memilih disebut nggak rasional, dan ketika tak memilih disebut warga negara tak bertanggung jawab.


Muara dari rendahnya minat pemilih datang ke TPS adalah rendahnya kepercayaan dan citra parpol di mata publik. Di tengah ekspos media masa yang semakin masif membongkar berbagai kasus hukum dan korupsi yang melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, mendorong meningkatnya persepsi buruk publik terhadap para elite politik. Padahal, mereka merupakan representasi elite partai politik yang dipilih langsung oleh rakyat

Tidak ayalnya, bergai aksi dan reaksi bermunculan dalam waktu dekat ini, yaitu fatwa MUI tentang haramnya golput yang tendensinya bermuatan politis. Dari fatwa MUI tersebut ada berbagai respon di antaranya, bahwa MUI dianggap sudah tidak orisinil lagi dalam mengaitkan fatwanya dengan permasalahan yang kompleks di negara ini lebih-lebih fatwa terkait pemilu, adapun dari kalangan idealis menyatakan bahwa fatwa MUI tersebut sangat membantu dan lebih memotivasi masyarakat untuk tidak memubadzirkan hak pilihnya untuk memilih pemimpin yang hanif dan mementingkan kemaslahatan ummat.

Nasib dan posisi rakyat terkait urusan politik memang tak pernah beranjak dari sekedar “komoditas”. “Berharga” dan “dijual” hanya saat kampenye pemilu tiba, terbingkai seribu janji politisi. Ketika pemilu usai, mereka yang kemudian terpilih dan duduk di berbagai pilar kekuasaan, dengan seketika lupa pada janji semula. Padahal, andai saja semua janji kampanye pemilu itu terpenuhi, andai saja semua yang terpilih itu punya semua sifat baik seperti yang terbaca pada atribut kampanyenya, betapa beruntungnya orang Indonesia. Sayang, tak berlaku pengandaian dalam realitas politik. Kenyataan harus diterima rakyat yang, lagi-lagi, suma dijejali mimpi-mimpi.


Mengingat kenyataan itu, maka sebetulnya masuk akal jika kemudian ada sebagian rakyat Indonesia yang memilih untuk tidak memilih dalam pilkada atau pemilu. Mereka yang dalam terma politik kita disebut “Golongan Putih” alias “Golput” jumlah nya kian meningkat dari waktu ke waktu. Bahkan hasil beberapa survey menunjukkan hampir pada ¾ Pilkada yang telah digelar di sejumlah daerah sejak 2005, golongan ini keluar sebagai “pemenang”. Jelang Pemilu 2009 mendatang, keberadaan golongan ini kembali jadi perhatian plus kekhawatiran dari beberapa kalangan, termasuk MUI. Entah alasan apa sebenarnya lembaga himpunan para ulama ini merasa perlu mengeluarkan fatwa tersebut.

Pertanyaannya, apakah gejala peningkatan jumlah Golput menandakan rakyat Indonesia kian rasional dalam menilai proses politik? Apa rasionalisasi terhadap kekhawatiran yang muncul terhadap gejala itu?

Para pakar politik Indonesia selama ini hampir sepakat menyebut rakyat Indonesia sebagai pemilih tidak rasional. Indikasinya terutama nampak pada masih dominannya kalkulasi bersifat primordial sebagai preferensi pada pilihan politik, bukan atas dasar penilaian rasional atas platform atau program yang ditawarkan partai politik dan calon legislatif kontestan pemilu. Akibatnya, hasil dari setiap pemilu hampir tidak pernah membawa perubahan berarti terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat.

Baiklah, sementara mari kita terima logika para pakar itu. Tapi, jika demikian maka kita akan cenderung tiba pada simpulan: “bahwa seluruh persoalan yang terjadi di negara ini adalah karena rakyat yang tidak rasional sehingga salah pilih dalam pemilu”. Itulah bentuk kemalangan lain rakyat Indonesia. Selalu jadi pihak yang partisipasinya diharapkan, tapi segera setelahnya dengan seketika jadi “kambing hitam” atas berbagai keadaan. Sesungguhnya, rakyat memiliki kesadaran dan kecerdasan khas dalam menilai proses politik yang terjadi, baik atas nama kejenuhan pada proses itu, penilaian terhadap caleg yang ada, maupun penilaian atas program yang diwartakan partai politik.

Dalam kaitan ini, proses koreksi dan introspeksi harusnya dilakukan pertama kali oleh para politisi maupun partai politi secara keseluruhan. Tanpa mengesampingkan berbagai hal baik yang telah dilakukan selama ini oleh sebagian politisi dan partai tertentu, yang jadi pertanyaan adalah: apakah selama ini para politisi atau partai politik telah melakukan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat? Mengapa mereka baru terlihat “ada” hanya pada saat kampanye, itupun cuma lewat poster, baliho, serta iklan tv dan radio? Apa manfaat yang dirasa rakyat dari keberadaan partai politik yang sekarang berjumlah ratusan itu?

Selama ini, konsep yang disebut pendidikan politik (political education) hampir nihil dilakukan oleh sebagian besar partai politik yang ada. Sebatas tercantum dalam program kerja memang ada, tapi belum mewujud dalam praktik yang berkesinambungan. Sepertinya “irasionalitas politik” masyarakat justru jadi “zona nyaman” tersendiri bagi banyak politisi dan partai politik. Hal itulah yang barangkali mendorong mereka merasa cukup menandai keberadaannya hanya pada saat kampanye pemilu. Merasa cukup menyapa rakyat secara visual melalui iklan serta atribut kampanye lainnya. Di luar waktu itu, panggung politik tak ubahnya bak “opera sabun” yang sarat dengan dramatisasi pelbagai intrik dan kepentingan mereka sendiri, tapi nihil arti bagi rakyat yang setengah dipaksa jadi penontonnya. Ironisnya, ada sebagian dari mereka yang menyebut hal itu sebagai bagian dari “pendidikan politik” kepada masyarakat.
Begitulah, selama ini pun rakyat hanya diposisikan sebagai pemilih atau voters. Bukan sebutan atau pemosisian yang terlalu keliru sebenarnya mengingat sifat inherennya dalam hak politik rakyat. Soalnya terletak pada akibat dari pemosisian itu. Rakyat cenderung diperlakukan bukan sebagai “zoon politicon” yang seutuhnya, yang punya hak untuk tahu dan terlibat dalam setiap proses kebijakan yang memengaruhi hajat-hidupnya. Apa yang perlu dari rakyat hanya “vote”-nya dalam pemilu atau pilkada, bukan aspirasi dan ekspektasi mereka dari proses-proses demokrasi yang berjalan selama ini.

Dengan cara pandang seperti itu maka pantaslah jika program “sosialisasi pemilu” dianggap jauh lebih penting ketimbang “edukasi politik” tentang pemilu. Cermati saja berbagai iklan politik melalui pelbagai media saat ini. Hampir semuanya hanya dijejali pengetahuan tentang teknik dan persuasi untuk men-contreng, tidak disertai pesan mengenai arti penting pemilu sebagai bagian dari demokrasi. Kepolitikan demikian menggejala dan sekaligus menjelaga dalam mindset partai politik maupun penyelenggara pemilu. Dengan begitu, jika kemudian kepolitikan rakyat Indonesia dianggap masih irrasional, maka hal itu adalah buah dari rekayasa pikir yang selalu cenderung memarjinalkan akal sehat rakyat yang berkembang di benak praktisi dan pengamat politik.

Marilah kita percaya bahwa basis rasional politik rakyat Indonesia telah berkembang sedemikian rupa. Tak pada tempatnya untuk menggeneralisasi standar rasional yang ada di benak para pakar dengan standar rasional menurut pikiran rakyat. Pola pikir politik rakyat justru seharusnya jadi bahan kontemplasi untuk membongkar kepongahan tentang “rasionalitas” yang ada di benak kita, yang konon merasa lebih paham politik. Bukan mustahil pola sederhana dalam pikiran rakyat justru lebih “rasional”.


Jadi, perlu ada pemenuhan standar maksimum atas dua hal, pertama, realisasi program pendidikan politik yang benar dan tepat oleh partai politik. Program itu dapat dilakukan secara permanen dari waktu ke waktu tanpa harus menunggu jadwal pemilu. Pikiran bahwa transfer pengetahuan kepada rakyat hanya cukup lewat iklan, atau melakukan “politik uang” saat menjelang pemilihan, sudah masanya ditinggalkan. Kedua, pemenuhan standar maksimum atas berbagai program atau janji yang ditawarkan pada setiap kampanye pemilu. Jika dua hal itu terpenuhi maka ada cukup basis untuk menilai sejauh mana rasionalitas politik rakyat kita dapat terakomodir secara apik dan penuh harapan ke depan, sehingga saatnya PEMILU kali ini benar-benar bermartabat dan menampung aspirasi rakyat.

* Pecinta aspirasi rakyat