Selasa, 14 Oktober 2008

MEWUJUDKAN RENESAINS ISLAM PADA ABAD 21

MEWUJUDKAN RENESAINS ISLAM PADA ABAD 21
oleh: Agus Qorib Akhwan
*Mahasiswa aktivis Dakwah Kampus Di IAIN Walisongo Semarang





PENDAHULUAN
Abad 21 adalah abad milenium ke tiga yang mana disebut juga era globalisasi yaitu suatu rangkaian proses di mana ada proses ekonomi, budaya dan politik mengalami keterkaitan suprarasional (taylor, et al,1997:55). Dalam istilah Gidden (1994:4), globalisasi adalah "action at distance" (aksi dari kejauhan), yaitu aktivitas ekonomi, politik dan budaya yang terjadi dalam lintas global dan saling terkait. Lalu dengan keberadaan kita sebagai umat Islam di era sekarang ini yang sudah masuk pada abad ke-21 tersebut harus mampu mengimbangi perkembangan keilmuan mutakhir seperti hal-ihwal abad pertengahan yang dikuasai oleh peradaban Islam.
Tentunya dengan membuat berbagai strategi keilmuan yang mengedepankan orientasi akal agar tidak terjebak iklim kejumudan massal, yang sekarang ini masih diamini oleh generasi umat Islam. Boleh jadi, dengan kondisi tersebut umat Islam hanya bermimpi, bereuforia atas kejayaan Islam di masa yang sudah lampau sekali. Abad renaisans memang dibenarkan oleh sejarah. Namun bukan berarti dengan hanya mengetahui kehebatan para tokoh Islam yang mampu menggetarkan dunia, sehingga banyak dari tokoh dunia barat yang sangat getol berhijrah ke dunia Islam demi mengetahui kasat-kusut dinamika peradaban di dunia Islam sampai saat ini.
Dengan demikian apakah sebagai umat Islam kita telah merasa cukup bahwa sang penjuluk renaisans kita serahkan begitu saja kepada dunia barat yang sejatinya mereka telah berguru pada peradaban Islam. Jawabannya tentu bukan demikian yang kita harapkan. Oleh karena itu, di bawah ini akan kami uraikan beberapa kajian tentang bagaimana umat Islam dapat mewujudkan kembali sejarah renaisans Islam pada abad ke-21.
POKOK PEMBAHASAN
Dalam tugas karya ilmiah ini kami mengkaji beberapa steering point yang menjadi inti pembahasan, diantaranya, yaitu adalah
- Mengenal Islam lebih dekat
- Mengenang sejarah keemasan peradaban Islam
- Mampukah Renesains Islam pada Abad 21
- Strategi mewujudkan renesains Islam pada abad 21
PEMBAHASAN
Mengenal Islam Lebih Dekat
KITA mulai tulisan ini dengan mengaji kata Islam itu sendiri. Kata Islam berasal dari akar kata salima (huruf shin, lam, dan mim). Dari akar kata ini terbentuk kata (verbal noun/isim mashdar) al-salam yang artinya kesejahteraan, al-salamah yang artinya keselamatan, dan al-silmu yang artinya damai. Dari akar kata berhuruf s, l, dan m ini bisa dibentuk kata kerja transitif aslama yang bentuk verbal noun-nya Islam (al-Islam). Artinya adalah menyerahkan diri dengan penuh kedamaian. Orangnya disebut muslim (laki-laki) atau muslimah (perempuan), jama’-nya muslimun/muslimin (masculinum) dan muslimat (femininum).
Idries Shah, seorang otoritas dalam sufisme, dalam bukunya The Elephant in the Dark, menyatakan Islam adalah nama dan makna. Namanya damai, dan maknanya damai. Tak heran jika Muhammad SAW, Nabi Islam, memerintahkan untuk afsu ‘l-salam, menyebarluaskan salam (perdamaian, kesejahteraan dan keselamatan). Pertemuan dua atau lebih orang juga diawali dengan ucapan salam. Shalat, sembahyang dalam Islam, ditutup dengan salam sambil berpaling ke kanan dan ke kiri. Artinya menyerukan perdamaian ke sekitar kita. Seorang muslim adalah seorang yang bisa membuat orang lain aman, damai, dan selamat dari (keusilan atau kejahatan) mulut dan tangannya.
Maka jalan Islam disebut juga subulu‘l-salam, jalan keselamatan dan perdamaian. Bahkan negara kaum muslim disebut daru‘l-salam, yang artinya kampung perdamaian. Demikian juga dengan Surga dalam Islam: sering disebut atau dinamai dengan daru’l-salam, yang artinya rumah atau kampung perdamaian.
Islam seperti yang dikemukakan di atas, mengandung makna damai, sejahtera, selamat, penyerahan diri, patuh dan menerima kehendak Allah SWT. Orang mengaku beragama Islam disebut Muslim. Penamaan orang yang memeluk agama Islama inipun, menurt Wilfred Cantwell Smith terdapat dalam al-Qur’an Surat az-Zumar (39) ayat 12 yang berbunyi, " Wa umirtu li an akuna awwalal Muslimina"(baca: Waumirtu li an akuna awwalal Muslimin). Artinya (lebih kurang), "dari aku diperintahkan menjadi orang yang pertanma-tama berserah diri."
Oleh karena itu, kata Wilfred Cantwell Smith selanjutnya, penaman Muhamedanism untuk agam Islam dan Mohammedan untuk orang-orang Islamyang telah dilakukan berabad-abad oleh orang Barat, terutama oleh para orientalis, seperti dapat dibaca dalam kepustakaan berbahas Inggris, misalnya, adalah salah. Kesalahan disebabkan karena para penulis Barat menyamakan agama Islam dengan Agama-agama lain, misalnya dengan Christianity yang diajarkan oleh jesus kristus. Budhism yang diajarkan oleh budha Gautama dan lain sebagainya.
Penamaan yang dianggap ambigu ini telah menyebabkan pemahaman yang keliru terhadap Islam, yang akan dibicrakan dari zaman ke zaman mendatang. Namun demikian, perlu dicata bahwa setelah perang dunia kedua salah pengertian ini sudah berangsur-angsur kurang. Ini disebabkan karena munculnya negara-negara Islam dan negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dalam pergaulan antarbangsa, menjadi anggota PBB atau lembaga–lembaga dunia lainnya. Di samping itu, di berbagai perguruan tinggi di Eropa, Amerika dan Asia diadakan pula studi yang intensif dan mendlama mengenai Islam. Bahakan kini, di pusat-pusat kegiatan politik dan kebudayaan, baik di Eropa (: Roma, Partis, London, Wina/austria, bhakan juga di Moskow, misalnya) maupun di Canada dan Amerika (Montreal, Toronto, New York, Washington, Chicago, dan lain-lain) didirikan Islamic Centre untuk memberi gambaran atau citra yang benar tentang pengenalan Islam secara dekat.
Orang yang mengaku beragama Islam (seperti telah disebut di atas) atau yang secara bebas memilih untuk menyesuaikan kehendaknya dengan kehendak Tuhan, disebut Muslim. Seorang Muslim (yang benar) adalah orang yang menerima petunjuk Tuhan dan menyerahkan diri untuk menyesuaikan kehendaknya dengan kehendak tuhan, disebut Muslim. Seorang muslim (yang benar) adalah orang yang menerima petunjuk Tuhan dan meneyerahkan diri untuk mengikuti kemauan Ilahi. Artinya, seorang Muslim (yang benar) adalah orang yang melalui penggunaan akal bebasnya, menerima petunjuk Tuhan (S.H. Nasr, 1981:1). Makna ini berlaku untuk semua yang menerima dan patuh kepada hukum-hukum Tuhan yang tidak terbantah itu. Hukum-hukum tuhan yang tidak terbantah itu.
Memahami ajaran Islam dengan sebaik-baiknya, merupakan komitmen umat Islam terhadap agama Islam. Setiap muslim dan muslimat mempunyai komitmen (keterikatan) dengan ajaran Islam. Komitmen muslim dan muslimat terhadap Islam, intinya terdapat dalam Q.s al-’Asr (103). Berpangkal tolak dari bunyi Q.s al-’Asr (103) tersebut, ada lima komitmen atau keterikatan seorang muslim dan muslimat terhdap Islam. Komitmen itu adalah (1) meyakini, mengimani kebenaran agaama Islam seyakin-yakinnya, (2) memepelajari, mengilmui ajaran Islam secara baik dan benar, (3) mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat(4) mendakwahkan, menyebarkan ajaran Islam secara bijaksana disertai argumentasi yang meyakinkan dengan bahasa yang baik, dan (5) sabar dalam berIslam, dalam meyakini, mempelajari, mengamalkan dan mendakwahkan agama Islam, sebagai agama yang diridhoi Allah SWT, agama yang kita peluk bersama, agama yang menyelamatkan kehidupan kita di dunia ini dan membahagiakan hidup kita di akhirat kelak.
Islam Adalah Agama Yang Menghargai Perbedaan
Perdamaian Berdasar Keadilan dan Persaudaraan

Mohamad Hatta, wakil presiden kita yang pertama sekaligus seorang founding fathers Indonesia yang sangat dihormati, ternyata seorang yang sangat menaruh perhatian pada soal Islam dan perdamaian ini. Membaca tulisan-tulisannya dan juga pidato-pidatonya yang sangat banyak itu sampailah dia pada kesimpulan bahwa (1) perdamaian tidak syak lagi adalah cita-cita Islam; (2) didikan Islam adalah didikan damai; (3) kata kunci dalam Islam adalah perdamaian; (4) perdamaian senantiasa menjadi titik tolak Islam; (5) Islam memimpin kita ke jalan damai; dan karena itu, (6) hukum yang setinggi-tingginya dalam Islam adalah damai.
Perdamaian dalam Islam, bagi Hatta, sangat berkaitan dan harus dikaitkan dengan keadilan. Sebab, perdamaian tidak akan pernah terwujud tanpa adanya keadilan. Maka menuntut dan memperjuangkan keadilan merupakan kewajiban agar tercapai perdamaian. Tidak akan pernah ada perdamaian jika tidak terdapat keadilan. Oleh sebab itulah orang harus menuntut keadilan demi tercapainya perdamaian. Selama masih ada sistem penjajahan (dalam segala bentuk dan manifestasinya) maka keadilan tidak akan ada. Sebab itu maka perjuangan untuk menghilangkan penjajahan dalam segala bentuknya adalah kewajiban bagi orang Islam. Keadilan adalah syarat untuk mencapai perdamaian sejati.
Di samping itu perdamaian juga mengharuskan persaudaraan. Sebab, persaudaran juga merupakan prasyarat perdamaian. Persaudaraan dalam hidup di dunia ini berarti membukakan hati terhadap persoalan bangsa-bangsa lain, untuk saling tolong menolong mencapai kemakmuran bersama. Dunia ini dilahirkan Tuhan bagi kita untuk diperbaiki, tempat kita mempergunakan akal dan budi untuk kebaikan umat manusia. Bukan untuk dielakkan atau ditiadakan, apalagi semata-mata untuk mencapai kesenangan bangsa sediri. Berusahalah kita untuk memperbaiki dunia ini sebagai tangga ke akherat, supaya tercapai perdamaian yang sejati yang nyata-nyata merupakan tuntutan Islam. Bukankah damai adalah hukum yang setinggi-tingginya dalam Islam?
Memperbaiki dunia yang penuh kedamaian dan persaudaraan tersebut, menurut Dr Mohamad Hatta, adalah tuntutan dari kepercayaan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan karena itu merupakan tuntutan ajaran Islam itu sendiri. Hal ini karena kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu mengharuskan manusia yang berkepercayaan itu melaksanakan harmoni dalam alam raya ini. Kesemuanya itu harus dilakukan dengan jalan bersedia untuk memupuk persahabatan dan persaudaran antarseluruh manusia dan bangsa karena bagi Tuhan manusia adalah sama. Tanpa persamaan tidak akan pernah tercipta keadilan, tanpa keadilan tidak akan tercipta persaudaraan, dan tanpa persaudaraan mustahil tercipta perdamaian.
Persaudaraan berdasar persamaan
Persaudaraan segala bangsa itu hendaklah menjadi tujuan kita, karena hanya di atas persaudaraan itulah dapat tercapai kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan antarbangsa. Dan itu semua hanya mungkin tercapai apabila diletakan di atas asas dan prinsip persamaan derajad. Persaudaraan hanya mungkin di atas persamaan derajad. Antara tuan dan budak, antara patron dan client, dan antara boss dan cecunguk tidak mungkin tercapai persaudaraan yang sebenarnya. Untuk mencapai dasar bagi persaudaraan bangsa-bangsa sedunia, maka perlulah dihapuskan dan dilenyapkan terlebih dulu imperialisme dan penjajahan, yang menimbulkan penindasan oleh bangsa yang satu atas bangsa yang lain.
Perdamaian mesti diletakkan di atas dasar persaudaraan (brotherhood, ukhuwah), keadilan (justice, al-‘adalah), dan persamaan (equality, musawwah). Kesemuanya itu hendaknya dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh. Karena perdamaian adalah satu dan tidak dapat dipecah-pecah. Maka untuk menghindari keanekaragaman pengertian perdamaian itu sendiri, perdamaian haruslah dikaitkan secara organis dan positif dengan hukum. Tanpa hukum dan keadilan maka perdamaian menjadi tidak memiliki subtansi, dan karena itu tidak lebih dari pada sekedar slogan kosong alias utopia belaka.
Perdamaian yang dituju oleh Islam hanya mungkin tercapai apabila tata dunia internasional telah terbentuk dengan berdasarkan hukum. Bukan hukum yang dipaksakan yang kuat kepada yang lemah_karena ini sebenar-benarnya perkosaan– melainkan hukum yang lahir dari sumbernya yang terdalam yang menjelma ke dunia sebagai hasil dari pada permusyawaratan seluruh bangsa. Hukum yang setinggi-tingginya menurut Islam, ialah damai. Dan hukum jang lahir dari bermusyawarah dan berdamai adalah pula keadilan yang sebesar-besarnya yang dapat dicapai oleh umat manusia.
Sebagai muslim dan muslimat kita bersyukur memeluk agama Islam. Tetapi kesyukuran itu harus diikuti dengan mempelajari agama Islam itu secara sistematis tidak parsial terus menerus (baca: harus kaffah/komprehensif/menyeluruh) baik dan benar serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan dalam rangka kesyukuran itu pula, dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, seyogyanya kita juga tidak melupakan untuk menghormati atau bersikap toleransi (tasamuh) terhadap pemeluk agama lain di sekitar kita. Di atas dasar itu dunia bisa jadi aman dan damai, bangsa-bangsa di dunia akan merasa hidup dalam lingkungan hukum yang adil.
Mengenang Sejarah Keemasan Peradaban Islam
Peradaban Islam pernah memimpin dunia selama lebih kurang 600-800 tahun, di mana kaum muslim dengan sungguh-sungguh mengemban amanh ilmu pengetahuan. Ini artinya bahwa prewstasi yang pernah diraih oleh dunia barat modern sekarang ini sejak masa renesaince, ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh dunia Islam tidak hanya berkisarpada ranah kedokteran, tetapi juga termasuk matematika astronomi, dan ilmu bumi sebagi mana terbukti dari banyaknya istilah-istilah modern (barat) di bidang-bidang tersebut yang berasal dari ilmuwan muslim.
Dalam sejarah peradaban dunia tercatat ada dua Renaisans, Pada abad ke-4 H/ke-10 M, telah dipandang oleh Adam Mez dan Joel. L. Kraemer sebagai Renaisans Islam dan pada abad ke-14 sampai ke-16 dianggap sebagai Renaisans Barat atau Eropa.Renaisans Eropa ditandai dengan gerakan yang mendalami sastra dan kebudayaan klasik dari Yunani dan Roma oleh para sastrawan Italia; Petrarca (1304-1374M), Boccaccio ( 1313-1375M), Michelangelo (1475-1565M). serta penerjemahan besar-besaran dari karya-karya ilmiah-filosofis Muslim (Arab) oleh para penerjemah Latin dan Yahudi seperti: Michael Scott, Ibnu Dawud di Toledo dan Sisilia.Sementara Renaisans Islam lahir dipelopori oleh para elit kebudayaan yang berjuang secara sadar untuk mengembalikan warisan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani kuno. Diawali dengan penerjemahan terhadap ratusan karya-ilmiah Yunani-Romawi ke bahasa Arab oleh Hunain Ibn Ishaq, penerjemah Kristen Nestorian, Yuhanna ibn Hailan dan sebagainya. Yang bertempat di Baghdad dan Iran sebagai pusat peradaban Islam dengan beragam istana, pejabat dan penguasa yang sangat peduli terhadap khasanah keilmuan.
Tak heran jika pada saat itu di dunia Islam muncul para filosuf Muslim terkemuka sekelas Al-Kindi, Ibn Rusyd, Ibn Shina, Al-Farabi, Al-Amiri, Sijistani, Miskawaih, Nadhim dan sebagainya. Yang muncul pada paruh terakhir Abad ke-4 H/ke-10 M dibawah kontrol dinasti Buwaihiyyah yang dipimpinan oleh 'Adhud Al-Daulah.
Pada masa Dinasti Buwaihiyyah merupakan titik puncak dari apa yang disebut "humanisme", karena betapa kosmopolitannya atmosfer budaya pada saat itu. Percampuran pemikiran di antara orang-orang Islam, Kristen, Yahudi, Kaum Pagan, kelompok-kelompok aliran teologi dan kelompok religius sangat menghargai pluralitas. Titik tolak kesepakatan mereka adalah bahwa "ilmu-ilmu kuno" adalah milik seluruh umat manusia dan tidak ada satu kelompok religius atau kultural satu pun dapat mengklaim kepemilikan eksklusif ilmu-ilmu tersebut.
Dimana semangat pluralitas itu mereka kembangkan atas prinsip "shadaqah" yang diartikan "persahabatan" yaitu sebuah prinsip hubungan lintas budaya dan religius yang mendasarkan hubungannya pada kemanusiaan. Ini berarti hubungan mereka tidak didasarkan pada ras, suku atau agama, tetapi pada kenyataan bahwa mereka adalah manusia. Inilah barangkali yang menyebabkan Joel L. Kremer memilih bukunya ini berjudul "Humanism in the Renaissance of Islam"(hal. 18) yang edisi terjemahannya berjudul "Renaisans Islam: Kebangkitan Intelektual dan Budaya Pada Abad Pertengahan".
Joel L. Kraemer seorang Profesor sejarah dan pemikir sosial Universitas Chicago adalah seorang ahli sejarah kebudayaan Islam, buku "Renaisans Islam" adalah salah satu karya terbesarnya di dunia Islam abad pertengahan. Tidak jauh berbeda dengan buku sebelumnya yang berjudul "Philosophy in the Renaissance of Islam" yang berisikan tentang kehidupan dan pemikiran seorang filosuf Abu sulaiman al Sijistani. Dalam memaparkan idenya ia menggunakan metode yang sama yaitu mengumpulkan seluruh bio-bibiografi yang ia himpun dari berbagai sumber, mulai dari rujukan-rujukan klasik yang sangat langka hingga pengumpulan dari kitab, risalah, manuskrip-manuskrip dan sebaginya yang kemudian ia himpun secara deskriptif dan sistematis.Secara lebih luas lewat buku ini Kraemer mencoba memaparkan kebangkitan budaya dan khasanah keilmuan Abad pertengahan yang kita kenal dengan Renaisans Islam, ia juga memberikan gambaran yang jelas tentang ciri-ciri dan makna Renaisans serta bagaimana konsep humanisme dibentuk dan dijalankan oleh para pemikir di masa Renaisans Islam, yang kemudian para pemikir tersebut dikenal dengan para humanis muslim.Di samping mengungkapkan kemunculan dan kehancuran dinasti Buwaihiyyah ia juga mengungkapkan adanya kelompok-kelompok diskusi serta memperkenalkan para tokoh besar dimasa Renaisans Islam diantaranya: Abu hayyan Al Tauhidi, Abu Ali Miskawaih, Abu Al Hasan Al Amiri, Abu Al fadl Ibn Al Amid, 'Adhud Al Daulah (sebagai raja), Ibn Abbad serta yang tidak ketinggalan adalah Abu Sulaiman Al Sijistani (hal. 18).
Para pemikir humanis ini memilki cita-cita dan tujuan yang sama yaitu mewujudkan dan menghidupkan kembali warisan filsafat Yunani-Romawi kuno sebagai pembentukan pikiran dan karakter. Dimana humanisme yang mereka kembangkan merupakan lanjutan dari masa helenisme dan Yunani-Romawi kuno dengan ciri (1) mengadopsi filsafat klasik (2) konsepsi persamaan dan persaudaraan sesama manusia (3) cinta kasih sesama umat manusia.Hal ini tidak jauh berbeda denngan humanisme yang dikembangkan pada masa Renaisans Eropa (Italia) dimana para sastrawan Italia itu mengembangkan humanisme yang ada pada masa Yunani Romawi terutama merujuk pada humanismenya plato, Aristoteles dan Madzhab Stoa.Dinasti Buwaihiyyah Sendiri muncul menjadi pemegang kekuasaan di Irak dan Iran Barat didahului oleh adanya perpecahan di dalam kerajaan 'Abbasiyyah tepatnya disaat terjadi perselisihan masyarakat Baghdad dan kendali kekuasaan khalifah pada tahun 324 H/935 M. yang pada saat itu terjadi disintegrasi di kerajaan-kerajaan Islam.
Karakteristik dinasti Buwaihiyyah dibawah kepemimpinan 'Adhud Al Daulah adalah kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya, karena mengembangkan konsep humanisme yang sangat menghargai pluralisme dan bersifat sangat kosmopolitan,. Dimana penekanan atas nilai dan martabat manusia, penghargaan yang tinggi atas individu, sebagai ekspresi perasaan, pengalaman, pemikiran seseorang dan mengedepankan kosmopolitanisme menjadi ciri perilaku masyarakat Baghdad dan Iran pada saat itu. Yang tentnya memiliki implikasi filosofis yang besar dalam kehidupan manusia.
Humanisme dalam Renaisans Islam ini juga diwarnai dengan munculnya kelompok-kelompok diskusi dikalangan masyarakat yang bukan dari kalangan sarjana muslim. Seperti "Philosophical Circle" yang dipimpin Abu Sulaiman Al Sijistani, "Royal Circlenya" Ibn sa'dan dan Ibn 'Amid serta Schoolnya Yahya Ibn 'Adi yang semua kelompok tersebut sangat menjunjung tinggi humanisme.
Harus kita akui bahwa kerja keras yang dilakukan Kraemer dengan mnguak panorama peradaban Abad pertengahan dengan Renaisans Islamnya telah memberikan sumbangan dan informasi yang sangat berharga dalam sejarah masa kejayaan Islam. Yang dapat dijadikan rujukan, pelajaran dan semangat serta inspirasi untuk mewujudkan Renaisans ketiga, sebagaimana yang diramalkan oleh Prof. Dr. Fazlurrahman bahwa kebangkitan Islam pada masa mendatang akan muncul bukan di dunia Arab melainkan Asia Tenggara, khusunya Indonesia dan Malaysia.
Mampukah Renesains Islam pada Abad 21
ISLAM adalah agama yang sempurna dan tinggi. Namun, mengaca diri pada realitas umat Islam saat ini, di pelbagai penjuru dunia tidak menunjukkan ketinggian dan kemuliaan para pemeluknya. Mayoritas komunitas muslim masih terpenjara oleh fenomena kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan budaya dan berbagai konflik antar sesama. Keadaan ini sangat bertolak belakang dengan kondisi umat Islam pada tujuh atau delapan abad yang lalu.
Pada saat itu umat Islam mampu menampilkan diri sebagai pemimpin dunia, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentu ada yang salah dengan umat Islam saat ini. Apa yang harus dilakukan oleh umat Islam agar dapat mendorong terjadinya renaisans Islam?.
Renaisans Islam tentu berbeda konteksnya dengan Renaisans Barat. Renaisans Barat yang terjadi di Perancis pada abad ke-14 adalah gugatan atas supremasi gereja Katolik Roma dan tumbuhnya paham individualisme. Jadi renaisans Barat harus dibaca dalam konteks matinya feodalisme, bangkitnya individualisme dan penentangan terhadap supremasi gereja Katolik Roma. Sementara renaisans dalam konteks Islam, bukanlah penentangan kesatuan agama dan negara, tapi bagaimana merevitalisasi umat Islam agar mereka bangkit dan bisa maju seperti halnya kejayaan atau kemajuan yang dicapai umat Islam masa lampau.
Faktor apa yang mengantarkan umat Islam pada puncak kejayaannya Ada dua alur pemikiran Islam yang mengantarkan umat Islam ke posisi puncak, yaitu pendalaman ilmu syariat dan ilmu falsafah dan alam. Pendalaman ilmu syariat (tafsir, hadits, fikih, dan ilmu kalam), melahirkan empat mazhab terkenal, yaitu Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Penekanan dalam bidang ini adalah bagaimana tata tertib, hukum, dan fikih Islam. Pada saat bersamaan, selain mendalami ilmu syariat, umat Islam juga mendalami ilmu lain yang dikenal dengan hikmah atau filsafat yang menekankan pada ilmu alam. Inilah yang mengantarkan umat Islam masa lalu mempunyai prestasi gemilang dalam ilmu kimia dan kedokteran. Kemajuan dalam bidang ini lahir dari pembacaan yang disertai penelaahan atas ayat-ayat Alquran. Selain itu, turut memainkan peranan penting adalah penerjemahan besar-besaran buku-buku Romawi dan Yunani pada masa Khalifah al-Makmun di era Abbasiyah.
Kenapa sejak tujuh abad yang lalu, Islam mengalami kemunduran?. Apakah akibat serangan dunia luar, seperti Kaum Nasrani dan Zionisme?. Banyak pernyataan yang berpendapat bahwa Kaum Zionis dan Nasrani adalah penyebab kehancuran dan penghambat kemajuan umat Islam. Atau mereka yang berkesimpulan bahwa ada kelompok atau negara yang tidak suka akan kebangkitan umat Islam. Dua cara berpikir seperti ini sering disebut kelompok pengikut teori konspirasi. Menurut teori ini, kemunduran umat Islam pasti ada penyebabnya, entah itu Zionis, Amerika, kelompok asing dan lain sebagainya. Pola pikir seperti ini akan menjauhkan kita dari substansi persoalan dengan mencari penyebabnya di luar diri kita. Saya lebih suka introspeksi. Teori konspirasi memang menarik, tapi tidak mendidik. Saya melihat khutbah-khutbah cenderung tidak mengajak berpikir. Seperti membicarakan tentang dosa, itu memang baik, tapi kenapa tidak mempersoalkan masalah kontekstual. Kita sekarang menghadapi krisis yang berakibat buruk pada umat Islam. Apa yang bisa kita perbuat untuk mengatasi krisis ini. Karena dengan mengatasi krisis ini maka yang diuntungkan adalah umat Islam sendiri. Dari pada kita mencari kambing hitam, lebih baik kita introspeksi diri.
Alquran adalah pedoman hidup Muslim, sumber nilai, dan selalu up to date. Bagaimana seharusnya menyikapi Alquran, agar umat Islam bangkit kembali? Kita sering membaca Alquran, tapi hanya berhenti pada pembacaan saja, tidak dilanjutkan dengan penelitian. Berbeda dengan kaum Muslim abad ke-10 yang tidak hanya sibuk dengan pembacaan atas teks Alquran. Mereka juga melakukan pengkajian dan penelitian mendalam. Misalnya dalam bidang ilmu alam, mereka melakukan pengkajian atas ayat-ayat Alquran yang membicarakan alam, langit dan lain sebagainya. Dari proses pengkajian ini lahirlah orang-orang yang namanya harum sampai saat ini, seperti Ibnu Khaldun, Khawarizmi, Ibnu Sina dan lain-lain. Sementara, saat ini, kita sering banyak membaca ayat, tapi tidak mengkajinya. Seperti, kita tidak berpikir dan mengkaji maksud surat Yasin ayat 80 yang menyatakan bahwa Allah menjadikan api dari kayu yang hijau (yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu."-red).
Dalam ilmu pengetahuan modern, hijau dalam ayat di atas disebut cholorophyl. Pohon memuat energi dari matahari dan matahari menumbuhkan pohon. Pohon kalau di bakar bisa untuk memasak dan lain sebagainya. Observasi, merenung, dan pengkajian yang dilakukan oleh kaum Muslim abad ke-10 mampu melahirkan ilmu-ilmu baru seperti aljabar, kedokteran dan lain sebagainya. Jadi gelar ulama selayaknya tidak hanya diberikan kepada orang yang menguasai ilmu-ilmu agama, tapi juga kepada orang yang menguasai ilmu-ilmu alam dan sosial.
Apa yang harus dilakukan oleh umat dan bangsa ini untuk memacu renaisans Islam? Kunci cepat mengangkat umat Islam dari ketertinggalan adalah: Pertama, membaca buku. Kedua, berpikir dan mengembangkannya. Ketiga, mengembangkan rasionalitas dan logika berpikir. Kebangkitan Islam hanya akan tercapai jika umat Islam membaca dan belajar sebanyak mungkin ilmu-ilmu dari pelbagai negara yang sudah maju. Sama seperti yang dilakukan oleh khalifah Makmun tempo dulu. Kemudian kita berpikir dan menyesuaikannya dengan konteks yang kita hadapi saat ini. (CMM)
Strategi Mewujudkan Renaisains Islam Pada Abad 21
Islam adalah agama yang sempurna dan tinggi. Hal ini tersurat dalam ungkapan "al-Islamu ya’lu ya’lu wala yu’la alaih"(Islam adalah agama yang tinggi dan tidak ada yang menyamainya. Namun, mengaca diri pada realitas umatr Islam saat ini, di pelbagai penjuru dunia tidak mennjukkan ketinggian dan kemuliaan para pemeluknya. Mayoritas komunitas muslim masih terpenjara oleh fenomena kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan berbagai konflik antar sesama.
Keadaan ini sangat bertolak belakang dengan kondisi umat Islam pada tujuh abad yang lalu. Pada saat itu umat Islam mampu menampilkan diri sebagi pemimpin dunia, baik dalkalm bidang politik maupun dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Islam pada era keemasan itu, tentu tetap menjadi inspirasi dan nmotivasi bagi kemajuan para penganutnya saaat ini. Bahkan nama-nam intelektualkl m,uslim masa lalu tersebut masih harum terdengar , seperti ibnu sina, ibnu Rusd khawarizmi, Ibnu khamdun dan lain sebagainya. Jika umat Islam terdahulu bisa mencapai kemajuan spektakuler yang berangkat dari al-qur’an dan hadits, kenapa umat Islam saat ini masih saja tertinggal jauh? Tentu ada yang salah dengan umat Islam saat ini. Dan, upaya apa yang harus dilakukan poleh umat Islam agar dapat mendorong terjadinya renaisans Islam.
Konsep renaisans Islam di sini berbeda dengan konsep renaisans yang terjadi di barat tempo dulu. Renaisans barat yang terjadi di prancis pada abad ke -14 adalah gugatan atas supremasi gereja katolik Roma dan tumbuhnya faham individualuisme. Renaisans barat dibaca dalam konteks matiinya feodalisme, bangkitnya individualisme dan penentangan terhadap supremasi gereja katolik Roma. Sementara renaisans dalam kontek Islam, bukanlah penentangan kesatuan agama dan negara, tapi bagiamana merevitalisasi umat Islam agar mereka bangkit dan bisa maju seperti halnya kejayaan atau kemajuan yang dicapai umat Islam masa lampau.
Ada dua alur pemikiran yang mengantarkan umat Islam ke posisi puncak, yaitu pendalaman ilmu syari’at dan ilmu falsafah dan alam. Pendalaman ilmu syari’at (tafsir, hadits, fiqih dan ilmu kalam ) melahirkan empat madzhab terkenal, yaitu Syafi’i, Hambali, Maliki dan Hanafi. Penekanan dalam bidang ini adalah bagaimana tata tertib, hukum dan fiqih Islam. Pada saat bersamaan, selain mendalami ilmu syari’at, umat Islam juga mendalami ilmu lain yang dikenal denagn hikamh atau filsafat yang menekankan pada ilmu alam. Inilah yang mengantarkan uamt Islam masa lalu mempunyai prestasdi yang gemilang dalam ilmu kimia dan kedokteran. Kemajuan dalam bidang ini lahir dari pemabacaan yang disertai penelaahan atas ayat-ayat al-qur’an. Selain itu, turut memainkan peranan penting adaalah penerkjemaahan besar-besaran buku-buku Romawi dan Yunani pada masa Khlaifah Al-makmun pada masa bani abasiyah.
Kelemahan umat Islam saat ini dalam mengkaji al-qur’an yang tidak didikuti dengan penelitian banyak orang memebaca al-qur’an tapi hanya berhenti pada pembacaan saja, tidak dilanjutkan dengan penelitian. Berbeda denagn kaum musli m abad ke-10 yang tidak hanya sibuk dengan pembacaan atas teks al-qur’an. Mereka juga melakukan pengkajian dan penelitian mendalam. Misalnya dalam bidang ilmu alam, mereka melakukan pengkajian atas ayat-ayat al-qur’an yang membicarakan alam, langit dan lain sebagainya.
Sementara saat ini, kita sering banyak membaca ayat tapi tidak mengkajianya. Seperti, kita tidak berfikir dan mengkaji maksud surat yasin ayat 80 yang menyatakan bahawa Allah menjadikan api dari kayu yang hijau ( yaitu Tuhan Yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu menyalakan api ari kayu itu) dalam ilmu pengetahuan moderrn, hijau dalam ayat di atas disebut klorofil, pohon meneyerap energi dari matahari dan matahari menumbu8hkan pohoin. Pohon kalau dibakar bisa untuk memasak dan lain ssebagainya, observasi merenung , dan pengkajian yang dilakukan oleh kaum Muslim pada abad ke-10 mampu melahirkan ilmu-ilmu baru seperti aljabar, kedokteran dan lain sebagianya. Jadi gelar ulama’ selayaknya tidak hanya diberikan pada orang-orang yang menguasai ilmu-ilmu agama tapi apda orang yang menguasi ilmu-ilmu alam dan sosial.
Demikian juga penyebab awal mundurnya umat Islam adalah ketika mereka lebih mementingkan ilmu syari’at (fiqih) dan memandang sebelah mata terhadapa ilmu filsafat dan alam. Kondisi ini diperparah dengan dilahirkannya dogma yang tidak boleh bertanya maksud dari ayat-ayat al-qur’an. Uamt Islam hanya meneriam saj tanpa melakukan kajian atas ayat-ayat al-qur’an. Selain itu, menurut satu teori, tidak berkembangnya ilmu kedokteran dalam Islam dipengaruhi oleh ilmu fiqih, seperti pelarangan memotong-motong mayat. Penekanan berlebihan atas aturan dan larangan (fiqih) menjadai pemikiran Islam menjadi mekanis: mengikuti perintah dan larangan saja. Hal ini yang membawa umat Islam pada garis pemikiran yang mendasar bukan tumbuh, dan mematikan kreatifitas.
Oleh karena itu apabila alam berpikir dikendalikan dan ditekan maka akan menyebabkan stagnasi pemikiran di masyarakat maka biarkanlah akal berkembang dengan cara mempertanyaakan, mencari, menafsirkan sebebas mungkin. Al-qur’an selalu mmermerintahkan untuk selalu memperhatikan alam, langit dan gunung, agar umat Islam berfikir. Tapi sikap ini tidak kita jadikan dasar dalam mempelajari al-qur’an. Kita tidak meragukan kebenaran al-qur’an. Permasalahnnya adalah bagaimana mengamalkan dan menghayati al-qur’an. Bukan hanya memahami kulitanya tapi memahami makna dan substansinya. Maka organisasi-organisai Islam seperti Majlis Ulama Indonesia harus mendorong kebebasan berfikir tidak terlalu menekankan pada persoalan hukum. Sehingga angin segar bisa berhembus dan mampu melahirkan para pemikir abru pada umat Islam.
Akal sangat fital peranannya dalam mewujudkan kebangkitan Islam. Akal adalah sumber untuk maju. Tanpa penggunaan maksimal potensi akal, mustahil umat Islam bisa maju. Ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa suatu saat umat Islam akan banyak, tapi sayangnya seperti buih di lautan. Kemudian ada hadits lain yang mengatakan umat Islam akan merosot karena dua hal, yaitu cinta pada dunia dan takut menghadapi maut. Hikmah yang terbesit dari hadits ini adalah hidup itu harus berimbang, akal pikiran kita kembangkan untuk kemajuan duniawi, tapi kita jangan pada dunia. Dan kita mengembangkan pada qolbu untuk lebih memahami makna hidup setelah mati agar kita tidak takut menghadapi maut. Jika umat Islam mau bangkit mengejar kemajuan, maka setidaknya harus melakukan: pertama, kita cari kelemahan diri kita. Jangan mencari kambing hitam dan jangan menimpakan kesalahan pada pihak lain. Jangan mengembangkan teori konspirasi, sebab dengan logika itu kita akan menghindari instropeksi. Introspeksi itulah yang sangat penting bagi kata semua. Introspeksi akan menunjukkan kelemahan-kelemahan yang ada pada diri kita.
Kedua, belajar dari sejarah. Kemajuan Islam apda abad lampau, dipelopori oleh ulama’ yang banyak membaca, menulis dan berfikir. Jadi, akal dikembangkan serentak dengan pengembangan qalbu. Ada balance (Keseimbangan) antara akal dan qalbu. Ketiga, mengembangkan ukhuwah Islamiyah dan solidaritas antar umat. Kita tidak mencari musuh tapi kita menggalang ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah insaniyah (persaudaaraan manusia). Dengan bersatu padu kita bisa membangkitkan ajaran Islam dan hal ini akan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di tanah air. Marilah kita belajar dari khalifah Al-makmun yang mempelopori penerjemahan buku-buku barat. Falsafah Ibnu rusyd itu mengambil falsafah Romawi. Jadi, kita jangan melihat ilmu berasal. Ilmu itu kita ambil sebabnya mungkin dari manapun ia berasal yang membedakannya adalah sikap kita (umat Islam ) ketika menerjemahkan ilmu dalam perbuatan. Bagi umat Islam, pengejawantahan harus dibimbing moril yang disinari oleh cahaya iman. Iman umat Muslim tentunya berkiblat pada al-qur’an dan al-hadits, tapi iman Non-muslim itu berbeda.
Meskipun demikian, sumber ilmu pengetahuan bisa di mana saja bukankah kita di perintahkan, menurut sebuah hadits untuk menuntut ilmu di negeri cina jadi tidak perlu ada sikap anti barat atau anti timur dalam menuntut ilmu. Insyaallah dengan mengedepankan kemajuan ilmu dan kekuatan moral, umat Islam akan kembali bangkit dan menjadi khalifah di muka bumi.
Abad 21 adalalah abad milenium ketiga di mana disebut juga era globalisasi yaitu suatu rangkaian proses di mana ada proses ekonomi, budaya dan politik mengalami keterkaitan suprarasioanal (taylor, et al,1997:55). Dalam istilah Gidden (1994:4), globalisasi adalah "action at distance" (aksi dari kejauhan), yaitu aktivitas ekonomi, politik dan budaya yang terjadi dalam lintas global dan saling terkait. Menurut gidden 1994:4-5, aktivitas menyebabkan munculnya sarana komunikasi dan transportasi massa yang bersifta global, mencceritakan sisitem-sistem berskala besar dan mengakibatkan terjadinya transformasi konteks lokal dan persoalan pengalaman sosial. Oleh karena itu harapan untuk mewujudkan peradaban Islam yang gemilang tanpa merasa terjebak ke dalam iklim euforia belaka harus segera ditanggalkan jauh-jauh dari pikiran umat Islam saat ini, agar cita-cita dan harapan yang diinginkan untuk mewujudkan renaisans Islam: civil Islam dapat terwujud secara sistematis dan harmonis.
KESIMPULAN
ISLAM adalah agama yang sempurna dan tinggi. Namun, mengaca diri pada realitas umat Islam saat ini, di pelbagai penjuru dunia tidak menunjukkan ketinggian dan kemuliaan para pemeluknya. Mayoritas komunitas muslim masih terpenjara oleh fenomena kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan budaya dan berbagai konflik antar sesama. Keadaan ini sangat bertolak belakang dengan kondisi umat Islam pada tujuh atau delapan abad yang lalu.
Pada saat itu umat Islam mampu menampilkan diri sebagai pemimpin dunia, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentu ada yang salah dengan umat Islam saat ini. Apa yang harus dilakukan oleh umat Islam agar dapat mendorong terjadinya renaisans Islam?.
Renaisans Islam tentu berbeda konteksnya dengan Renaisans Barat. Renaisans Barat yang terjadi di Perancis pada abad ke-14 adalah gugatan atas supremasi gereja Katolik Roma dan tumbuhnya paham individualisme. Jadi renaisans Barat harus dibaca dalam konteks matinya feodalisme, bangkitnya individualisme dan penentangan terhadap supremasi gereja Katolik Roma. Sementara renaisans dalam konteks Islam, bukanlah penentangan kesatuan agama dan negara, tapi bagaimana merevitalisasi umat Islam agar mereka bangkit dan bisa maju seperti halnya kejayaan atau kemajuan yang dicapai umat Islam masa lampau.
Faktor apa yang mengantarkan umat Islam pada puncak kejayaannya? Ada dua alur pemikiran Islam yang mengantarkan umat Islam ke posisi puncak, yaitu pendalaman ilmu syariat dan ilmu falsafah dan alam. Pendalaman ilmu syariat (tafsir, hadits, fikih, dan ilmu kalam), melahirkan empat mazhab terkenal, yaitu Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Penekanan dalam bidang ini adalah bagaimana tata tertib, hukum, dan fikih Islam. Pada saat bersamaan, selain mendalami ilmu syariat, umat Islam juga mendalami ilmu lain yang dikenal dengan hikmah atau filsafat yang menekankan pada ilmu alam. Inilah yang mengantarkan umat Islam masa lalu mempunyai prestasi gemilang dalam ilmu kimia dan kedokteran. Kemajuan dalam bidang ini lahir dari pembacaan yang disertai penelaahan atas ayat-ayat Alquran. Selain itu, turut memainkan peranan penting adalah penerjemahan besar-besaran buku-buku Romawi dan Yunani pada masa Khalifah al-Makmun di era Abbasiyah. Dengan dalih tersebut tentunya kita masih dapat mengalihkan perhatian pada dunia keilmuan yang dapat kita aplikasikan pada abad ke-21 ini.
PENUTUP
Demikian hasil dari Tugas karya ilmiah saya yang dapat lami sampaikan. Semoga dapat memberikan tambahan khazanah ilmu pengetahuan bagi para pembca sekalian. Khususnya khazanah ilmu pengetahuan Islam yang dapat dikembangkan di dalam ranah kehidupan kita di masyrakat.
DAFTAR PUSTAKA
Hery Sucipto, Islam Madzhab Tengah, Jakarta, Grafindo Khazanah Ilmu, 2007.
http://Muhammad-yasin.blogspot.com.
http://www.cmm.or.id/26-May-2006.
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja wali pers, 2006.
Muhammad Sirozi, Agenda Strategis Pendidikan Islam, Yogyakarta: Group, 2004.
Robert W. Hefner, Civil Islam; Islam dan Demokratisasai di Indonesia, Yogyakarta: ISAI, 2001.