Rabu, 07 April 2010

Sejuta Asa Meraih Cita



oleh: el-Achi*

Banyak keputusan yang aku ambil dalam hidup ini. Pahit getir keputusan yang kuambil demi meraih mimpi tak bertepi. secercah harapan panjang ingin kuwujudkan, kupeluk erat mimpi-mimpiku jangan sampai lepas tak terkendali lagi dan tak kujumpai. Riuh suara hati memotivasi untuk tidak pasrah dengan berbagai onak duri, luka semakin terasa perih, duka semakin terasa sedih tatkala diri ini tidak menyadari betapa berartinya do’a yang diberikan oleh orang-orang terdekat.

Berkali-kali perasaan tidak mengenakan menyelimuti alam pikiranku, firasat buruk seolah-olah terjadi dalam bayangku dan aku tidak mampu menghadapi kenyataan itu. Pernah suatu ketika aku diajak oleh keluargaku ke suatu tempat di mana tempat tersebut pernah kujumpai dalam alam mimpi, sejenak aku berpikir entah di mana aku ini dan tempat apa yang aku hampiri ini.

Aku terus terheran dan terus terheran, mulutku diam seribu bahasa dan spontan membisu, linglung tak sadarkan diri…, kemudian seketika kakakku memegang pundakku…” Wan…ayo masuk,..jangan diam begitu…”, ini rumah pakde yang pernah kamu singgahi di waktu kamu masih duduk di bangku SD dulu. Ku coba mengingat dan terus mengingat, terbesit sebuah suara dalam hatiku “ kayaknya tempat ini tidak asing dan pernah aku singgahi, sumpah…namun di mana…ya?” aku terus berpikir dan berfirasat hal ini belum lama aku pernah jumpai tapi di mana ya..?.

Memang ucapan kakakku Dito kubenarkan sudah 10 tahun yang lalu aku pernah singgah di rumah ini yang juga merupakan tempat tinggal Pakde Parjo, tapi jujur dalam benakku masih bertanya “ apakah ini mimpi atau nyata?”, kupegang pipiku dan dadaku, terasa detak jantungku semakin kencang, diriku semakin terkesan paranoid, soalnya dalam mimpiku tempat yang aku temui ini misterius. Seketika aku ingat bahwa hal ini pernah aku jumpai di alam mimpiku belum lama ini. Seketika itu pula aku langsung beristighfar dan berdo’a membaca do’a ta’awudz, bahwa sebelum aku berangkat ke pakde pernah bermimpi singgah di suatu tempat yang kebetulan tempat itu mirip rumahnya pak de Parjo.

Pakde Parjo yang selama ini menjadi kerabat paling jauh dari Ibuku, beliau adalah kakak ibuku yang paling jauh, yaitu di pulau Sumatera tepatnya di daerah Sumatera Selatan. Dulu pakde parjo pernah tinggal satu desa dengan keluargaku, namun karena faktor himpitan ekonomi beliau pindah dengan transmigrasi sekeluarga ke Sumatera dan menetap di sana.

Kami sekeluarga memang pada saat itu sedang berkunjung ke rumah Pakde Parjo dalam rangka reuni keluarga besar dari nasab Ibu. Aku, Ibuku, kakaku Dito, dan adikku Lala berangkat ke Sumatera menyeberangi Selat Sunda dengan menumpangi Veri Express. Abahku memang sengaja tidak diikutkan karena kondisinya sedang terbaring sakit dan saat ini sedang berada di rumah bersama Pak lek Pardi merupakan adik dari abahku dan bulek Minah istrinya, mereka berdua kami minta untuk merawat abah sementara waktu.

Sebenarnya momen ini kami rencanakan sebelum abah sakit karena terjatuh dari pohon kelapa. Sewaktu memanjat pohon kelapa abah terpeleset dari ketinggian 3 m dan mengakibatkan pinggang dan kakinya terkilir, memang keseharian abah tidak beliau lewatkan dengan pekerjaan tani dan penjual kelapa dari hasil panen di kebun yang abah miliki. Saat ini beliau masih dalam masa pemulihannya, semoga saja cepat sembuh.

Sebenarnya aku berniat untuk menunda kunjungan ke pak de Parjo, tapi Abah malah tetap menyuruh kami sekeluarga untuk berkunjung ke rumah pakde Parjo. Pak de Parjo merupakan kerabat dekat dari keluargaku, Ibu adalah adik kandung pertama dari 9 bersaudara. Ceritanya kakek dan nenek memang memilki 12 anak Cuma yang masih saya temui saat ini ada 9 termasuk di antaranya adalah pak de Parjo dan ibuku yang merupakan anak terakhir. Kakekku, abah dari ibuku adalah veteran tentara ’45 dan nenekku adalah dokter pejuang ’45, ceritanya beliau ketemu dan kenal di medan Perang, akhirnya menikah. Sayang saya belum sempat melihat keduanya saat aku terlahir di dunia ini. Namun aku tidak kecewa, karena momen-momen beliau kakek dan nenekku sekeluarga diabadikan dalam album foto hitam putih yang sudah terlihat kusam oleh ibuku, tapi gak apa dengan cara begitu kutemukan keharmonisan dari keluargaku.

Pak de ku Parjo memang terbilang paling dekat dengan keluargaku sejak di tanah Jawa, tepatnya di daerah Purwodadi yang wilayahnya bagian selatan berbatasan dengan Solo, dan salatiga, sebelah utara dengan Pati, Demak, sebelah barat dengan Demak, sebelah timur dengan Blora. Wilayahnya kalau dilihat dari peta memang di bagian tengah agak tenggara wilayah Jawa Tengah.

Suatu hal yang kuingat ketika aku masih menginjak bangku kelas 3 SD pada tahun 1995, Pak de Parjo yang juga seorang Guru matematika sering memotivasi untuk rajin belajar dan membantu Abah dan ibu. Aku masih ingat beliau sering mengajariku rumus pitagoras pelajaran Matematika dan IPA. Ketika ada PR yang tidak aku pahami aku larinya ke Pakde Parjo. Beliau memang terkenal riang, suka membantu, ramah dan menyenangkan. Dengan kepribadiannya yang sederhana dari dulu sampai saat ini tidak begitu mudah aku lupakan walau terbentang waktu dan tempat yang jauh di mata dari rumahku. Hal itu yang membuat kami sekeluarga untuk menghampiri dan silaturrahim kepada beliau sekeluarga.

Pak de Parjo (60 th) saat ini tinggal bersama satu anaknya mas Joko yang kebetulan umurnya sepadan denganku, aku 23 tahun sedangkan dia 24 tahun. Dulu mas Joko ini kakak angkatan atas satu kelas denganku. Namun selang waktu kelas 4 ia pindah ke Sumatera. Mas Joko, putra Pak de yang Ragil (baca-Jawa) atau “bontot” . Sedangkan anak yang lainnya sudah berpisah satu rumah karena sudah berkeluarga, ada mbak Murni, mbak Ambarwati. Pakde mempunyai anak 3, yaitu mbak Murni, mbak Ambarwati, dan yang terakhir mas Joko.

Namun kurang lengkap rasanya saat itu karena tiadanya bude “Tik”. Sayang saat itu, aku tidak bertemu dengan bude ‘Tik’. Beliau sudah dipanggil yang Kuasa 5 tahun yang lalu disebabkan terserang penyakit gula yang menggerogoti tubuhnya. Saat itu, aku masih duduk di bangku 2 SMP mendengar kabar bahwa Bude “Tik” sudah tiada. Bude “tik” yang juga tak mudah aku lupakan, beliau seingatanku yang sering menyuapiku sewaktu aku masih kecil dan sering membuat makanan yang aku sukai seperti jajan pasar, ada apem, klepon, onde-onde, rangin, wah…jadi mengaharukan jika terus aku ingat kenangan manis bersamanya. Semoga bu de “Tik” diterima amal di sisi-Nya. Amiin. Memang sejatinya mati akan ditemui setiap manusia entah kecil, muda, tua tidak mengenal kapan dan siapa yang tahu dirinya akan berjumpa dengan kematian.

Sejenak aku dan keluargaku berbincang dengan pak de Parjo dan Mas joko, anaknya dengan logat bahasa Jawa,
“ Pak de Parjo lan Mas Joko pripun kabare, sampun dhangu mboten ketemu lan kulo wis pangkling?.” Tukasku membuka kehangatan percakapan.
“ Oh.. ya, alhamdulillah apik-apik wae, jawab keduanya sambil tertawa kecil.
Saat itu Pak de bercakap-cakap dengan Ibuku, sementara aku bicara dengan mas Joko secara bergantian.
“ Saiki awakku wan wis duwe gawean sing mapan itung-itung mbantu Pakde sing wis pensiun. Awakku saiki wis kerjo neng PT. pertambangan Batubara, awakku di bagian koordinator tekhnisi pertambangan. “ ucap mas Joko.
“ wah, wis dadhi wong duwur iki, lan mapan tenan.” Ucapku takjub.
“La..sampeyan piye, denger-denger kuliah yo…pasti masa depanmu cerah iki.., ngambil jurusan opoa?”
“ pandungane mas, aku ngambil jurusan akuntansi lan perbankan di UGM lagi ngrampungke Skripsi, iki arep cedak karo Wisuda.” Balas jawabku.
“Yo musti, awakku tetep iling awakmu, masa depanmu pasti cerah luweh-luweh awakmu bakal jadi Sarjana.” “Aminn.”

“Wan, awakmu kudhu syukur marang pengeran Gusti Allah, biso Sekolah dhuwur mugi-mugi awakmu iso piwales marang Abah lan ibumu, kerono deweke isih nyanggupi cita-citamu “.

“awakku iki wan, yen ora cedak karo syukur aku ora ngerti kahanane kepriye?, sak durunge aku dapat gawean iki aku banting kerjaan neng ngendhi-ngendhi, aku hampir pupus lan pasrah ditolak lan ngangur hampir telu wulan, tapi berkat Pak de dorong awakku untuk bangkit, aku didorong untuk nerapke bakat lan ketrampilanku iki opo? Banjur tak pikir, aku duwe hobi ngotak-ngatik mesin, bekal soko STM, alhamdulillah aku ngerti kahanane, aku juga mendalami maneh di Balai latihan kerja (BLK) selama 2 bulan, banjur aku nyoba masuk ke PT. pertambangan Batu bara,. Awale aku ragu, namun hasil trainingku sebulan aku dinyatakke lulus, aku masuk bagian operasional mesin, dua tahun kemudian dan saat iki sudah megang amanah koordinator utama tekhnisi mesin, ya… syukur Alhamdulillah.”

“Wah.. alhamdulillah, itung-itung bakat dadhi berkah tenan mas, ibarat pucuk dicinta ulam tiba”

Setelah bercakap-cakap dengan mas Joko, pakde Parjo nyamperi kita berdua, “ piye Wan kuliahmu wis rampung durung?” (“gimana wan kuliahnya, sudah selesai belum?).”

“ Pandungane Pakde insyallah semester niki.” (minta do’anya Pakde insyaallah pada semester ini.”).

Perbicaraan panjang lebar dan tumpuk antara kami sekeluarga dengan keluarga pak de Parjo. Aku dan keluargaku merencanakan kegiatan ini sebagai wadah sambung rasa keluarga yang sudah sekian lama tidak bertemu dan bertatap muka. Aku ingin keluargaku dapat berkumpul dengan keluarga yang masih punya hubungan garis keturunan dengan keluargaku. Aku dan keluargaku berkunjung ke pakde tidak kurang dari satu pekan, keluargaku diajak pakde Parjo berkeliling di area perkebunan kopi yang rimbun di area perbukitan. Karena beliau sudah menginjak masa pensiun menjadi guru SD, beliau mengalihkan kesibukannya dengan menggarap lahan perkebunan garapannya yang ditanami Kopi dan sedikit tanaman palawija.

******************

Perjalanan kami ke Sumatera ditempuh dalam perjalanan satu pekan dengan berbagai kesan yang tidak akan aku lupakan, keluargaku yang aku anggap keluarga sederhana hanya bisa mengharapakan perjalanan kami ke keluarga pak de Parjo ini sebagai pelipur rasa rindu keluargaku terhadap keluarga pak de Parjo.

Sepulang dan kembalinya dari Sumatera aku kembali ke rumah idamanku dengan rasa lelah_membuat kaku sekujur otot tubuhku karena perjalanan dihitung dengan waktu yang lumayan lama. Setelah sampai di rumah, aku, ibu, kakakku Dito, dan adikku Lala langsung sungkem dengan Abah yang terbaring lemas di dipan. Kami juga langsung disambut pak le Pardi dan Bulek Marni atas kepulangan kami dari Pak de Parjo.

Abah langsung menanyaiku kabar dari perjalanan kami ke Pak de Parjo.
“ gimana le..perjalanannya dari pak de Parjo?.”
“ Alhamdulillah bah, kabar Pakde Parjo baik-baik saja. Kemarin juga beliau ngucapin salam dan doa’in supaya abah cepat sembuh dan sehat wal’afiat.”
“Pak de Parjo kemarin juga insyaallah akan menyempatkan waktunya bersilaturahim ke tanah Jawa.”
Setelah bercakap-cakap sebentar dengan abah, aku memandu abah untuk mengambil air wudhu di kamar mandi belakang, karena saat itu tiba shalat Isya’. Kami sekeluarga membiasakan shalat berjama’ah. Biasanya abah yang memimpin dan menjadi imam, namun karena kondisinya begitu akupun disuruh mengganti imam sahalat di keluargaku sementara waktu menunggu kesembuhan abah .

*************

Waktu semakin malam dan menampakkan Sang ratu malam dengan rona sinarnya. Tidak ada firasat buruk yang terasa bagiku setelah menjalani hari-hari yang terus berjalan seiring waktu yang terus berputar serah jarum jam. Suatu malam terjadi kejadian yang tidak aku dan keluargaku inginkan. Abahku walaupun dengan keadaan demikian, tetap tidak melupakan kebiasaan baiknya untuk menjalankan qiyamullail ( menghidupkan pada sepertiga malam) dengan menjalankan ibadah shalat sunnah malam seperti Tahajud, Hajat, witir, dan ibadah lainnya.

Suatu ketika aku yang juga sering membantu mengambilkan air wudhu abahku, menjadi saksi yang terakhir bersama beliau. Pada saat shalat aku berada di samping beliau. Abahku seusai melakukan qiyamullail dengan menunaikan shalat-shalat malam itu, memang sering sujud terakhir begitu lama. Setelah saya selesai shalat witir sebagai shalat penutup shalat malam, aku menemukan kejanggalan pada diri beliau, beliau lebih terlihat khusu’ dengan sujudnya yang begitu lama dari biasanya. Saat itu suara adzan shubuh sudah berkumandang menunjukkan batas shalat malam sudah selesai. Akupun langsung menghampiri beliau dengan mengucapkan ” Abah, Abah, Abah, mari kita shalat shubuh berjama’ah”. Dengan sekita aku terperanjat dari samping beliau dan mengetahui bahwa beliau sudah menghembuskan nafas yang terakhir. Dengan mata berkaca-kaca aku ucapkan “ innalillahi wainna ilaihi raji’un” dan sebuah ayat “ kullu nafsin dza’iqotul maut.” ( setiap bernyawa akan menjumpai kematian).

Abahku meninggal dunia dalam usia yang sudah lanjut, beliau saat itu berusia 62 tahun tidak jauh dari wafatnya junjungan kita nabi Muhammad Saw. Pada usia 63 tahun. Abahku dulu adalah seorang guru Madrasah diniyah dan termasuk tokoh masyarakat yang terpandang di kampungku. Masa mudanya beliau habiskan di Pondok Pesantren tradisional yang menekankan kehidupan sederhana dan tirakatan. Abahku juga sering mendidik anak-anaknya untuk hidup sederhana dan tidak mudah terjebak dengan zaman yang semakin jauh dengan zaman yang beliau alami dulu. Mungkin masih ingat ucapan beliau yang mengutip wejangan dari seorang tokoh budaya tanah jawa “ Ronggo Warsito” dengan wejangannya “ Saiki jaman edan, sing ora edhan ora keduman”.

Abahku juga sering menekankan untuk hidup pamali terhadap pola hidup yang jauh dari akhlak dan pendidikan agama. Kakekku, abah dari abahku juga menekankan pola hidup demikian. Mungkin pegangan dan prinsip hidup ini yang diturun temurunkan keluargaku sampai sekarang ini. Jangan sampai prinsip hidup yang dipandang baik ini hilang dan terabaikan oleh keluargaku, lebih-lebih memang kebaikan itu adalah sumber pahala dan keberkahan. Andaikan prinsip hidup ini bisa diterapkan oleh semua orang tentunya pelita kebaikan dan keharmonisan sebuah keluarga akan tumbuh subur di mana-mana.
Menginjak saat-saat yang aku nantikan di mana keputusan panjang yang aku cita-citakan. Tiba saatnya diumumkan hasil ujian skripsiku, hasilnya aku dinyatakan lulus dan syukur alhamdulillah aku dinyatakan lulus dengan prestasi caumlaude. Selama 4 tahun tidak aku sia-siakan do’a dan harapan keluargaku agar aku menjadi orang yang berguna di masa depanku. Kuukir sejarah dalam hidupku dengan hasil prestasi yang tidak aku sia-siakan ini.

Dalam waktu dekatpun Wisuda dilaksanakan, saat itu keluargaku hadir dalam acara tasyakuran wisudaku. Namun, memang masih sangat terasa dalam bathinku duka yang mendalam tanpa kehangatan abahku, jelas masih terasa ganjil tanpa kehadiran abahku dalam acara wisudaku itu. Sekiranya beliau melihat aku dari syurga beliau akan tersenyum dan menepuk pundakku seraya mengucapkan “ selamat atas cita-cita yang kau raih nak..”.

Masih segar dalam ingatanku, selama masa hidup Abah dulu, beliau pernah berharap dapat melihat semua anaknya memakai toga dan jubah Sarjana. Tapi karena takdir ilahi, aku tetap bersyukur karena do’a dan harapan abah-lah aku telah menggapai sejuta asa dan menemukan cita-cita yang beliau harapkan.

Tiada kata untuk terus bangkit dan meneruskan perjalanan hidup ini lebih baik, sebagaimana pernah dipesankan abah kepadaku. Walaupun Aku dan keluargaku saat ini hidup tanpa abahku. Namun, kehangatan keluargaku akan terus kami pertahankan dalam hidupku dan keluargaku yang senantiasa dalam kebaikan.



*********************************

* penulis adalah penikmat karya sastra Islami dan senantiasa merindukan munculnya pujangga-pujangga muslim ternama.