Senin, 12 April 2010

"Senandung do'a, meraih cita"

-->
Senandung do’a, Meraih Cita*
( Seri Tafakkur dan Birrul Walidain)
Saudaraku, hidup ini adalah hanya sebuah perjalanan yang akhirnya akan sampai tempat tujuan, ibarat air yang mengalir ia akan sampai pada muaranya, ibarat matahari yang terbit di ufuk timur ia akan tenggelam di ufuk barat. Perjalanan hidup ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Setiap manusia pasti akan menjalani roda kehidupann. Kecuali bagi mereka yang sudah dipastikan tidak dapat menghirup nafas dan melihat dunia yang fana dari ibunya. Tidak bisa dipungkiri yang namanya hidup harus menerima resiko, resiko itu harus dijalani oleh setiap insan yang sudah ditaqdirkan hidup dari “ lauhil Mahfudz”, alam di luar alam fana ini.
Merajut benang kehidupan adalah keniscayaan yang harus dijalani oleh setiap insan. Tidaklah wajar jika setiap insan menjalani roda kehidupannya dengan tiada ujian dan coban yang terkadang menerpa dalam runyamnya kehidupan.
Pantaslah setiap insan menjalani roda kehidupannya dengan memenuhi alam mimpinya yang tak bertepi, entah sebagai inspirasi atau sebagai misteri di kehidupan dunia yang terbatas ini. Memang hanya sebuah pilihan bagi setiap insan untuk dapat menjalani roda kehidupannya. Apakah kebaikan atau keburukan yang akan ia jumpai di alam ini.
Suatu hari menjadi detik-detik yang menentukan dalam hidupku. Aku merasakan sebuah hal yang sacret (rahasia) tapi sesuatu itu menjadi ganjalan di dalam perasanku. Detak jantungku semakin berdetak hebat, nafasku semakin tidak beraturan, kepalaku pusing tujuh keliling, sekujur tubuhku berkeringat menetes membasahi tubuhku ketika aku harus menceritakan perihal yang kualami ini.
Kejadian yang sangat aku pertaruhkan dalam reputasi hidupku, sebenarnya hal itu tidak pantas, tidak wajar untuk aku ceritakan kepada orang lain. Namun ini adalah cerita yang menurutku hal yang penting diungkap agar hidupku merasa tenang dan tidak terombang-ambing jika aku tidak segera membuka kartu “AS’ yang selama ini menjadi beban pikiranku.
Beginilah yang dapat aku ungkapkan, “ aku adalah anak terakhir dari lima bersaudara, kakakku semuanya sudah berkeluarga, tinggal aku yang belum berkeluarga dan masih meminta nafkah dari kedua orang tuaku. Bapakku berusia 62 th, ibuku 50 th.. Mereka berdua berusaha keras dengan membanting tulang setiap harinya demi membesarkan dan melabuhkan harapan dan cita-cita anaknya.
Bapakku dengan usia senjanya sudah menjadi pensiunan “guru mata pelajaran Agama Islam” di SD, terletak di sebuah desa pedalaman yang beralam perbukitan dan pegunungan berjarak 10 km dari rumahku. Masih ingat di waktu beliau mengajar beliau selalu mengayuh motor buntutnya bermerek “ Yamaha Autulobe 75” keluaran tahun 1975, sampai kinipun motor itu masih bertahan dan diparkir di rumahku. Saat ini motor itu juga pensiun dari tugasnya yang rutin mengantarkan bapakku dalam tugas mulianya ke SD-nya dulu. Walaupun sudah lama motor itu bagi bapakku menjadi teman dalam hidupnya untuk sekedar menggunakannya bepergian di sawah atau kegiatan seharinya, misalnya mengantarkan ibuku ke pasar atau bersilaturrrahim ke sanak saudara terdekat. Terimaksih bapak…engakulah pemimpin keluarga yang tangguh, sabar dengan kepribadian shaleh yang juga engkau tularkan kepada putra-putrimu. Engakulah suri tauladan terbaik bagi keluarga dan putra-putrimu…
Sedangkan berbicara tentang ibuku, ibuku adalah seorang ibu rumah tangga yang menyibukkan hari-harinya dengan berjualan sembako di sebuah warung kecil yang didirikan di depan rumahku yang sederhana, setiap harinya-pun ibuku juga mengalihkan pekerjaannya dengan bertani di sawah bersama bapakku dengan menyewa lahan instansi pemerintah di bidang perairan dan penyuluh pertanian, dengan memiliki sertifikat Hak Guna Usaha (HGU). Artinya sertifikat itu tidak bisa dijual sebagai harta tetap, tetapi bisa digunakan secara turun temurun dan harus sesuai anggaran pajak pemerintah. Ibuku juga memiliki pribadi yang tekun, ulet, dan bermental wirausaha (entrepreneur) hebat dengan usaha dagangnya secara mikro.
Walaupun setiap harinya disibukkan dengan hal yang berbau duniawi ibuku setiap harinya-pun tidak lupa menyibukkan dengan amal ibadah yang tidak kalah rutin, seperti tidak jarang bagi beliau selalu tekun berjama’ah shalat 5 waktu di sebuah Musholla di kampungku, berpuasa setiap hari Senin-Kamis menjadi hobbinya, shalat Dzuha jarang dilupakan setiap harinya, selain itu beliau juga aktif mengikuti Majelis ta’lim kelompok ibu-ibu di kampungku. Pada saat bulan puasa Ramadhan beliaupun juga sering ikut meramaikan kegiatan Tadarus Al-qur’an bersama di Musholla. Dan yang aku ingat tentang kepribadian dan aktivitas ibadahnya, setiap malam beliau selalu bertafakur dan mendo’akan anak-anaknya termasuk diriku yang sedang dalam masa penantian wisuda. Semoga do’a ibuku terkabul oleh dzat Yang Maha Pengasih, Penyayang lagi Maha menghendaki.. Amiin..
Aku bangga dengan ibuku… terima kasih ibu…tiada kata dan perbuatan yang aku lakukan tanpa perjuangan dan do’amu, ya ibu……
Maaf, jika aku menceritakan terlalu panjang tentang ibuku, karena saking cintanya dengan “ibu”. Ibu adalah posisi seseorang yang dimuliakan dalam ridho-Nya, seperti yang telah diterangkan dalam dasar Al-qur’an ataupun Al-Hadits, oleh karena itu, ijinkan aku melantunkan ba’it nasyid berikut:
“Ibu”
“ Bila ku ingat masa kecilku ku selalu menyusahkanmu
Bila kuingat masa kanakku ku selalu mengecewakanmu
Banyak sekali pengorbananmu yang telah kau berikan padaku
Tanpa letih dan tanpa pamrih kau berikan semua itu
Engkaulah yang kukasihi engkaulah yang kurindu..
Kuharap selalu do’amu
Dari dirimu ya..ibu….
Tanpa do’amu takkan kuraih
Tanpa do’amu takkan kucupai
Segala cita yang kuinginkan dari dirimu ya..ibu..”
Kedua orang tuaku, pada usia yang senjanya, dengan melihat keadaan putra-putrinya _ beberapa ada yang berjauhan, “ tak tampak di depan mata tetapi tetap dekat dalam hati ke duanya”, seringkali menjadi beban pikiran beliau ketika beliau sekedar hendak melihat dan meluapkan perasaan suka dukanya kepada putra-putrinya beserta cucu-cucunya dengan canda tawa, sehingga dapat menghangatkan dan melupakan rasa kesepian layaknya berkumpulnya sebuah keluarga besar yang harmonis.
Diantara kakak-kakakku, ada beberapa yang tidak berjauhan di antaranya adalah ke dua kakakku yang rumahnya tidak jauh dari rumah kedua orang tuaku, sehingga ketika ada kabar tentang keadaan bapak dan ibuku merekalah yang paling cepat tahu kabarnya dan segera menemui keduanya. Dan bagi aku dan beberapa kakkaku yang berada di perantauan_ jauh dari keduanya juga tidak diam begitu saja dengan kondisi bapak dan ibuku. Aku dan beberapa kakakku juga mengupayakan untuk sering pulang kampung, sehingga dapat membantu dan mengetahui kabar di rumah.
Di dalam keluargaku, prinsip hidup lebih diutamakan sejak kecil oleh orang tuaku kepada putra-putrinya. Bapakku termasuk adalah seorang tokoh yang dipandang masyarakat di desaku. Oleh karena itu, kehidupan keluargaku terpandang pamali. Artinya keluargaku selalu menjaga prinsip untuk selalu taat dan jangan sekali-kali melupakan dasar agama yang kuat dalam keluarganya, seringkali juga aku dan kakak-kakakku diberi pesan oleh bapakku:
“ kamu jangan lupa shalat, baik wajib ataupun sunnah diselingi ibadah lainnya, dan jaga selalu pergaulan di sekitarmu, bergaulah dengan orang-orang yang jelas dan shalih.”
Pada saat ini juga mereka meiliki nadzar dan azzam yang kuat untuk bisa naik Hajji ke tanah Suci Makkah Al-Mukarromah. Aku dan kakak-kakakku saat ini mulai bermusyawarah bersama, bagaimana kami semua dapat mengusahakan agar ke dua orang tuaku dapat menunaikan ibadah Haji, sebagai kesempurnaan rukun Islam yang kelima bagi setiap muslim yang mampu. Aku dan kakakku saat ini mulai bergotong royong dan bahu membahu mengumpulkan hasil dari finansial masing-masing untuk ditabung kemudian dikumpulkan menjadi satu sehingga mencapai standar jumlah ongkos naik Haji . Semoga bi idznillah mereka berdua dapat tersampaikan nadzar dan Azzam yang diniatkan dengan sabar dan ikhlas. Dan fa insyallah menjadi Haji yang Mabrur. Amiin.
Dalam cerita yang aku tuliskan ini, sebenarnya aku tulis dengan keadaan tinta yang luntur dan melebur menjadi satu dengan tulisan di beberapa lembar kertas putih, terbasahi oleh linangan air mataku yang terurai tanpa kusadari, melukiskan perasaan hatiku yang mendalam.
* Penulis adalah hamba Allah yang sedang gundah gulana ingin berubah ke arah yang lebih baik dalam menjalani hidup yang fana ini fi mardhotillah.